Terapi Bermain pada Anak yang Mengalami Kekerasan Seksual
Ilustrasi kasus:
Pasien anak perempuan, 3,5 tahun, anak tunggal, tinggal bersama kedua orangtuanya di daerah pinggiran kota. Pasien di bawa ke poli jiwa anak oleh ayah ibunya untuk berkonsultasi karena mereka menduga telah terjadi tindakan kekerasan seksual pada anaknya itu. Alloanamnesis didapatkan informasi akan kemungkinan adanya tindakan kekerasan seksual oleh teman pakde di rumah kediaman kakek saat anak tersebut dititipkan sehingga membuat pasien menjadi tidak nyaman.
Pasien dikatakan sebagai anak yang periang, mudah bergaul dengan teman sebaya dan cepat akrab dengan orang dewasa. Selama pemeriksaan: tampak rapi, sesuai usia, senang bermain boneka dan tidak ditemukan perasaan gelisah, menghindar, takut atau cemas. Instrumen skrinning SDQ (kuesioner untuk ketahanan dan kesulitan anak) menunjukkan adanya gambaran mudah marah/takut.
Terdapat riwayat menghindari orang dewasa laki-laki setelah kejadian kekerasan seksual (ditelanjangi oleh pakde dan temannya di kandang sapi), sakit pada kemaluan saat mandi, mudah marah, rewel, dan mengigau pada malam hari dengan mengatakan “jangan.., jangan.., nakal!!!” Melalui peragaan boneka saat di periksa di bidan: pasien mengutarakan kedua pahanya dilebarkan dan teman pakde kemudian menindih dirinya dengan udel bodong.
Pasien pada awalnya mengaku akibat terjatuh dari sepeda sehingga alat kelaminnya menjadi sakit (ancaman pakde). Tetapi saat di tanya secara halus, pasien mengatakan bahwa teman pakde berbuat “nakal” kepadanya. Udel bodongnya (sebutan pasien pada alat kelamin teman pakdenya itu) dimainkan ke alat kelaminnya dan pakde malah memegangi kedua tangan pasien.
Setelah dilakukan asesmen terhadap pasien dan keluarga, maka psikiater anak memutuskan untuk memberikan terapi bermain kepada pasien untuk menghilangkan trauma psikologis akibat kekerasan seksual yang dialami oleh pasien anak.
Terapi bermain adalah salah satu bentuk psikoterapi pada anak yang mengunakan model pendekatan aktivitas bermain untuk tujuan terapeutik. Terapi bermain pertama kali diperkenalkan oleh Virginia Axline pada tahun 1947 untuk anak melalui pendekatan secara tidak langsung. Media bermain merupakan fasilitas lingkungan yang ideal bagi anak untuk dapat mengekspresikan masalah dan perasaan serta hal yang membingungkan dirinya.
Pada prinsipnya, setiap anak menyukai aktivitas bermain. Bermain dapat membantu dan meningkatkan berbagai aspek pada anak, seperti: fisik, emosional, sosial, kognitif, persepsi, integrasi sensorik dan bahasa. Terapi bermain diciptakan oleh karena anak sering tidak dapat atau tidak mau mengutarakan masalah emosionalnya secara langsung. Dengan demikian, diberikan suatu aktivitas kreatif melalui pendekatan berbeda, yaitu dengan menggunakan peralatan bermain, sebagai berikut: kotak pasir, menggambar, art (kesenian), musik, tanah liat, mendengarkan dongeng, permainan, mainan, dan panggung boneka.
Pemberian terapi bermain disesuaikan dengan tingkat perkembangan emosional dan psikofisik dari anak tersebut, seperti: sensorik/taktil (oral), motorik (anal), representasi (falik), dan konstruktif (laten). Terapi bermain dapat dilakukan melalui pendekatan secara individual, kelompok, maupun orangtua melalui mirror wall (dinding cermin) untuk observasi interaksi anak-orangtua.
Terapi bermain dibagi menjadi dua pedenkatan, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pada terapi bermain secara langsung, terapis biasanya yang memutuskan untuk menggunakan media mainan apa untuk tujuan terapi spesifik. Terapis dapat melalui permainan dan peragaan, misalnya penggunaan boneka untuk membantu anak menyampaikan perasaan tentang perpisahan dengan orangtua yang dicintai ketika orangtua bercerai atau perasaan tidak menyenangkan saat anak masuk ke rumah sakit. Macam terapi bermain secara langsung berupa: theraplay untuk anak yang memiliki masalah sensori-motor, tehnik mendongeng (story telling), sesi menyimak panggung boneka, atau mewarnai gambar dengan aneka warna.
Terapi bermain secara langsung dengan boneka sebelumnya digunakan sebagai media bagi anak untuk mengungkapkan pengalaman traumatik yang tidak menyenangkan mengenai kekerasan seksual yang mungkin di alami. Terapi bermain dapat membantu anak menyampaikan rasa takut akibat pelecehan seksual tersebut. Tetapi berdasarkan studi penelitian, metode tersebut kini tidak digunakan lagi. Terapi bermain pada anak yang menjadi korban kekerasan baik fisik maupun seksual, saat ini lebih digunakan untuk media pengalihan dan pemulihan akan kondisi psikologis paska trauma.
Tujuan pemberian terapi bermain pada anak adalah untuk membangun suatu hubungan dengan anak melalui pengalaman alamiah yang menyenangkan, yaitu bermain karena pada dasarnya setiap anak itu menyukai aktivitas bermain. Terapi bermain membantu anak untuk mengenali dirinya sendiri, memperbaiki hubungan pertemanan, mengutarakan perasaannya, berkomunikasi secara aman, alamiah dan spontan melalui mainan, penyelesaian konflik internal dengan orangtua, meningkatkan kemampuan dalam tahapan perkembangan serta melatih keterampilan sosial dalam kelompok.
Sebelum pemberian terapi bermain, biasanya dilakukan asesmen terlebih dahulu pada tahap awal terhadap anak untuk tujuan pemilihan tehnik terapi bermain dan psikoedukasi kepada orangtua mengenai aturan mengikuti sesi terapi bermain. Tahap berikutnya, anak diperkenalkan kepada psikiater anak, terapis dan dan berbagai mainan di ruang play therapy. Tahap akhir biasanya terapis akan mengukur keberhasilan dan kemajuan terapi bermain. Pada setiap sesi terapi bermain, tentunya terdapat terminasi (pengakhiran) dalam aktivitas bermain sesuai jadwal yang telah disepakati.
Pada terapi bermain secara tidak langsung, terapis bersikap diam dan mengamati aktivitas bermain yang dilakukan oleh anak. Terapis lebih banyak menggunakan gambaran perasaan sebagai bentuk utama dalam berkomunikasi dengan anak. Pada sesi ini, anak bebas bermain agar dapat berasosiasi verbal secara bebas dengan orang dewasa (terapis). Anak bebas memilih aktivitas permainan apa yang ingin dia lakukan. Anak bebas menggunakan material mainan yang dia inginkan atau sukai. Hal ini dapat menunjukkan tingkat perkembangan emosional anak dan tingkat kepuasan anak dalam menikmati mainan. Terapis dipersiapkan untuk dapat menerima dan mengerti semua perasaan anak secara keseluruhan.
Berbagai studi ilmiah menunjukkan bahwa terapi bermain merupakan pendekatan terapeutik yang efektif dalam masalah emosi dan perilaku pada anak. Berbagai kondisi tersebut adalah: gangguan neurotik (kecemasan): ansietas, cemas perpisahan, fobia (takut), hipokondriasis (psikosomatis); gangguan perkembangan: gangguan/kesulitan belajar, keterlambatan bicara dan bahasa, dan autisme masa kanak; sindrom hiperkinetik: hiperaktif, in atensi (tidak bisa konsentrasi), ADHD.
Masalah perilaku yang dapat di tangani melalui pendekatan terapi bermain adalah: enuresis (mengompol), enkopresis (ngebrok), psikosis/skizofrenia, afektif (depresi), masalah makan (anoreksia nervosa, bulimia, obesitas/kegemukan), gangguan perilaku, gangguan perilaku seksual pada anak, serta gangguan komunikasi.
Masalah terkait dengan stress baik dalam lingkungan eksternal atau keluarga juga berhasil ditangani melalui pendekatan terapi bermain, seperti: berbagai tipe kekerasan dan penelantaran pada anak, perceraian dan perpisahan orangtua, anak yang kemampuannya berada di bawah (baik secara sosial maupun akademik atau IQ/kecerdasan), keterlambatan perkembangan, korban bullying, duka cita atau kehilangan, trauma psikologis, anak yang dirawat lama di rumah sakit, anak dengan penyakit kronis (diabetes mellitus, sakit ginjal, talasemia), dan anak dengan disabilitas fisik (polio/lumpuh layu, kecacatan).
Terapi bermain di dalam seting rumah sakit biasanya dilakukan secara tim klinis, yang terdiri dari: psikiater anak, psikiater, dokter spesialis anak, dokter spesialis rehabilitasi medik anak, psikolog klinis, terapis okupasi, terapis wicara, dan staf keperawatan. Terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu layanan baru yang akan dikembangkan secara lebih spesifik di Instalasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja RSJ Dr Soeharto Herdjaan Grogol Jakarta. Layanan terapi bermain menjadi perlu, mengingat adanya peningkatan kasus anak dengan masalah emosi dan perilaku serta korban kekerasan yang datang berkunjung ke poli jiwa anak dan remaja.
